Minggu, 25 Mei 2008

Gambar Maqam Sidi Syeikh Ahmad Badawi r.a

Kota Fas rupanya beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah baginda Nabi, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib, suami sayyidah Fatimah binti sayyidina Nabi Muhammad SAW.

Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di Maroko). Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal al-Qur’an mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fikih madzhab syafi’i. Pada tahun 609 H ayahnya membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma’la.

Badawi masuk Mesir

Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. “Berdirilah !” begitu suara itu terus menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian…beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda”.
Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa’i. “Wahai Ahmad ” begitu kedua orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. ” Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka “. Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, “Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.

Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I, Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya. Badawi yang alim
Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan-tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.

Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi. Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ” Setelah Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.

Suatu ketika Ibnu Daqiq al-’Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, “Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab “Syajaratul Ma’arif” karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.

Karomah Ahmad Badawi

Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini.

Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh.

“Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT”tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh Badawi. Syaikh Sya’roni berkomentar, “Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri “.

Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang. “Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin”. Demikian nasehat Syekh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.

Wafat

Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul ‘Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H.

Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran, petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang. Wallahu `a’lam.

Berkenalan dengan Syeikh Ahmad Badawi r.a

Kota Fas rupanya beruntung sekali karena pernah melahirkan sang manusia langit yang namanya semerbak di dunia sufi pada tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah baginda Nabi, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib, suami sayyidah Fatimah binti sayyidina Nabi Muhammad SAW.

Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas (sekarang termasuk kota di Maroko). Mereka berasal dari Bani Bara, suatu kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara Arab paling barat ini. Di sinilah Syeikh Ahmad Badawi kecil menghafal al-Qur’an mengkaji ilmu-ilmu agama khususnya fikih madzhab syafi’i. Pada tahun 609 H ayahnya membawanya pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput sang ayah pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma’la.

Syeikh Ahmad Badawi masuk Mesir

Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini suatu ketika ber-khalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum. Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. “Berdirilah !” begitu suara itu terus menggema, Carilah tempat terbitnya matahari. Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari. Kemudian…beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda”.


Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq. Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syekh Abdul Kadir al-Jailani dan ar-Rifa’i. “Wahai Ahmad ” begitu kedua orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah. ” Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka “. Tanpa disangka-sangka al-Badawi menjawab, “Saya tidak akan mengambil kunci tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.

Perjalanan selanjutnya adalah Mesir negeri para nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan gaib, Thantha, satu kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna`I, Syaikh Salim al- Maghribi dan Syaikh Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah, takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.

Syeikh Badawi yang alim dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang yang menyakit. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah bahkan menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain, tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini akan gapaian tangan-tangan Yang Maha Kasih. Dengan merenung orang akan banyak memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia tenggelam dalam zikir dan belaian Allah SWT.

Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh bongkahan mutiara, itulah al-badawi. Matbuli dalam hal ini memberi kesaksian, “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ” Setelah Muhammad bin Idris as-Syafiiy tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih berpengaruh daripada Ahmad Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi kemudian al-Manufi.

Suatu ketika Ibnu Daqiq al-’Id mengutus Abdul Aziz al- Darini untuk menguji Ahmad Badawi dalam berbagai permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, “Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab “Syajaratul Ma’arif” karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.

Karomah Ahmad Badawi

Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini.

Al-kisah ada seorang Syaikh yang hendak bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh.

“Pergilah, dan tawakkallah kepada Allah SWT”tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syekh Badawi. Syaikh Sya’roni berkomentar, “Saya mendengar perkataan tadi dengan telinga saya sendiri “.

Tersebut Syaikh Badawi suatu hari berkata kepada seorang laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang. “Simpanlah gandum untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin”. Demikian nasehat Syekh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu. Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.

Wafat

Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun berikutnya. Syekh Badawi, pecinta ilahi yang belum pernah menikah ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya. Setelah dia meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul ‘Al sampai dia meninggal pada tahun 773 H.

Beberapa waktu setelah kepergian wali pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran, petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid. Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid syekh Badawi ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan pun digelar kembali sampai sekarang. Wallahu `a’lam.


Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Hj Ahmad Badawi dikatakan dari keturunan Syeikh Ahmad Badawi r.a ini…..

Selasa, 04 Maret 2008

Ciri Pemimpin yang diredai

PEMIMPIN satu amanah dan bukannya tempat mencari kemuliaan sebab amanah ini akan ditanya di akhirat nanti. Realitinya hari ini pemimpin dipuji, diberi sambutan dan tepuk sorak.
Siapalah tidak ghairah pasang angan-angan menjadi pemimpin, hingga ada yang berkata: “Asyik dia orang saja dapat, bila lagi giliran aku pula.”Islam sejak beratus tahun lampau mencipta rekod kepemimpinan di pelbagai benua dan kota, terus melakarkan beberapa pra syarat agar pemimpin betul-betul ‘menjadi’ dan orang yang dipimpin menerima nikmat kepemimpinan, bukan hanya terpimpin selamat di dunia malah juga di akhirat nanti.Syarat pertama pemimpin ialah iman. Dalam surah al-Kahfi Allah menyatakan iman itu ada tiga implikasi, iaitu 'imun', 'aman' dan 'amin.'Imun maknanya kebal daripada maksiat dan kebal daripada rasuah. Aman maknanya dia berasa aman bila bersama Allah, malah di depan orang dia baik, di belakang orang pun dia tetap baik, bukannya hipokrit. Manakala 'amin' pula maknanya orang yang boleh dipercayai. Apabila sudah dipercayai barulah layak menerima amanah .Syarat kedua ialah ilmu kepemimpinan. Kepemimpinan bukannya secara spontan atau pakai tangkap muat sahaja, sebaliknya mesti ada ilmu.Makna kepemimpinan ialah cara menggunakan pengaruh untuk mempengaruhi pengikut mencapai matlamat yang digarap. Jika tidak ada ilmu, sepak terajang dan kerenah kepemimpinan, nanti kita pula yang dipimpin.Syarat ketiga ialah 'selfleadership.' Bagaimana kita boleh memimpin orang lain kalau diri kita tidak terpimpin?Perkataan 'leader' merujuk kepada tanggungjawab (al-mas'uliyah). Sabda Rasulullah s.a.w bermaksud: “Setiap kamu dalam pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawab berdasarkan apa yang kamu pimpin.”Syarat ini menggambarkan orang yang memimpin itu mampu bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Maknanya, pemimpin tidak cepat melemparkan tanggungjawabnya kepada orang lain, tidak cepat terpengaruh dengan khabar yang tidak pasti. Jika dia melakukan kesilapan, diri sendiri menanggung risiko, bukan mengkambing hitamkan orang lain demi keselamatan diri.Syarat keempat ialah pemimpin memerlukan 'The Power Of Communication.' Ketika berinteraksi dengan pengikut akan menghadapi pelbagai kerenah, keinginan dan tuntutan yang semestinya mampu menenangkan mereka walaupun hajat tidak tertunai, bukannya putar belit. Cara berkomunikasi ada empat:1) Cakap mudah difahami, bahasa terang, arahan jelas tidak berbelit-belit.2) Kesamaan. Setiap orang mudah didampingi, tidak ada tembok pemisah atau terlalu protokol. Pasangan berkahwin sebab banyak kesamaan antara mereka. Mereka nescaya bercerai jika ada banyak perbezaannya. 3) Ikhlas. Walaupun ikhlas terletak di hati dan tidak nampak dengan mata namun ia dapat dirasai. Jika tidak ikhlas seakan ada satu gelombang yang mengganggu perasaan orang yang dipimpin. Kata-kata tidak tajam tidak masuk di hati.4) The power of service. Cakap hanya perlu pada tempatnya tetapi bertindak semestinya lebih banyak. Allah memberikan kita dua telinga supaya kita banyak mendengar, Allah memberikan kita dua mata supaya kita banyak melihat dan mengamatinya, kemudian bertindak berasaskan pendengaran dan pemerhatian.Rasanya elok juga disinggung sedikit perkara yang menambah komitmen moral seorang pemimpin berasaskan tafsir lima ayat surah al-Muddassir. i- Bangun dan beri peringatan. Pemimpin mempunyai kepedulian sosial yang tinggi. Sekiranya di sekelilingnya terdapat perkara menyalahi kebenaran, dengan kuasanya dia akan meluruskannya. ii-Mesti membasarkan Allah. Pemimpin perlu sentiasa ke depan tetapi jangan mendahului Allah.iii- Bersihkan pakaiannya. Pakaian luar dan dalam iaitu hati biar turut bersih. iv- Tinggalkan dosa.v- Janganlah memberi sesuatu kerana ingin mendapat lebih banyak malah kalau boleh jangan ingat bahawa kita pernah memberi kepada seseorang.

Jumat, 22 Februari 2008

Belief in Divine Destiny

A true Muslim believes in Divine Destiny (Qada and Qadar) which means the belief in Destiny and Allah's Timeless Knowledge.it also means belies in His Power to determine and execute His Determination.Allah is not indifferent to this world nor is He is neutral to it.His Knowledge and Power are in action at all times to keep order in His dominion and maintain command over His creation.

It is the belief that Allah has predetermined things according to His limitless Knowledge,Power and Wisdom.He willed things, and then brought them into existence according to His Knowledge.Their happening does not change anything in Allah's knowledge.Allah is Wise,Just, and Loving and whatever He does must be for the good,although we may fail sometimes to understand it fully.

This does not make man fatalistic or helpless.It simply draws the line between what is within God's Knowledge and what is man's responsibility.Because we are,by nature finite and limited,we have only a finite and limited degree of power and freedom.We cannot do anything,and He Graciously holds us responsible only for the things we do.The things we cannot do,or the things which He Himself does are not in them realm of our,responsibility.He is Just,and has given us limited power to match our finite nature and limited responsibility.

On the other hand,the Timeless Knowledge and Power of Allah to execute His commands,do not prevent us from making our own plans in our own limited sphere of power.On the contrary,He exhorts us to think,plan and make sound choices,but if things do not happen the way we plan,we should not lose faith or surrender ourselves to mental stress and shattering worries.We should try again and again and if the result are not satisfactory,then we know have tried our best,and the final decision is with Allah.

We should have strong faith in Allah and accept whatever He does because our knowledge is limited and our thinking is based on human consideration,whereas His knowledge is limitless and His Commands are Supreme.Muslims call this article of faith Divine Destiny (Qada and Qadar),which-simply means that the Divine Decree of Allah,anticipates events and that events take place according to the Divine Knowledge of Allah.